Rabu, 06 April 2011

TUGAS PEMIMPINthomen:
I. PENDAHULUAN
 
Sejak era reformasi tahun 1998, berbagai perubahan baik positif maupun negatif terjadi sedemikian cepat hampir di semua lini kehidupan bangsa Indonesia, baik perubahan itu terjadi pada lembaga negara seperti lembaga eksekusif, legislatif dan yudikatif maupun terjadi pada masyarakat secara umum.
Pada lembaga yudikatif misalnya, disamping keempat lingkungan Peradilan (Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer) telah bernaung dalam satu atap pada Mahkamah Agung RI. sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, amandemen konstitusi juga mengamanatkan beberapa hal  seputar reformasi peradian, antara lain dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial, pembentukan Pengadilan Khusus, seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan Hubungan  Industrial, Pengadilan Niaga dan lain-lain pada Peradilan Umum, dan penunjukan Hakim Ad Hoc. serta penegasan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka bebas dari intervensi pihak manapun.
Pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945 (amandemen ketiga) dinyatakan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.  Pada Pasal 1 Undang-undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dengan adanya KY, maka Pengadilan c.q. Hakim dalam menjalankan tugasnya harus lebih profesional dan hati-hati, karena disamping harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa dan kepada Negara, dalam menjalankan tugasnya secara internal juga diawasi oleh  MA, secara eksternal diawasi oleh KY dan secara horisontal diawasi oleh masyarakat.
Sebagai respons terhadap perubahan tersebut, Mahkamah Agung beserta lembaga Peradilan di bawahnya telah melakukan reformasi secara menyeluruh, antara lain di bidang Rekruitmen, Pembinaan dan Pengawasan SDM, Penyediaan dan Perlengkapan sarana prasarana, Peningkatan dan pengelolaan Anggaran, Penanganan dan Penyelesaian perkara, Penerapan Pelayanan Prima,  Transparansi Informasi dan  Penataan Kelembagaan/organisasi. Bahkan untuk melaksanakan reformasi pada semua bidang tersebut Mahkamah Agung telah menyusun Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI Tahun 2010 – 2035 yang mulai disosialisasikan pada pertengahan tahun 2010 ini dan diharapkan dapat mempercepat proses pembaruan peradilan (Lihat Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Periode 2009 pada Varia Peradilan Edisi Tahun XXV No. 293 April 2010).
Semua perubahan tersebut didayagunakan untuk mewujudkan kekuasan  kehakiman yang merdeka dan mandiri  demi terwujudnya penegakan hukum dan keadilan  bagi semua pihak sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
Berhasil dan tidaknya pembaruan pada hampir semua aspek tersebut, sangat ditentukan oleh faktor Kepemimpinan. Karena itu faktor kepemimpinan menduduki peran yang amat urgen dalam sebuah organisasi/lembaga termasuk pada pengadilan, bahkan 65 % keberhasilan pelaksanaan tugas Pengadilan berada di tangan kepemimpinan pemimpin (Tim Redaksi, Varia Peradilan, Edisi Februari 2008, hal. 52).
Bedasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka pada Orientasi Peningkatan Kemampuan Tenaga Teknis Peradilan Agama (Hakim II) yang diselenggarakan oleh Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I. di Mataram tanggal 30 Juni s.d. 2 Juli 2010 ini, penulis merasa sangat berkepentingan untuk mengangkat topik Kepemimpinan Pengadilan Agama.
II. KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI/INSTITUSI NEGARA
Doktrin ajaran “Trias Politica” yang dikemukakan oleh Montesquieu menyatakan bahwa Negara bertumpu pada 3 (tiga) kekuatan, yaitu : “Legislative power, eksekutive power dan Yudicative power”. Pandangan lain menyatakan bahwa stabilitas suatu negara sangat tergantung pada keseimbangan kekuatan legislative, eksekutif, yudikatif dan jurnalistik power. Tentara dan kepolisian merupakan bagian dari eksekutive power. (Tim Redaksi, Varia Peradilan, Edisi Februari 2008, hal. 51).
Masing-masing kekuatan/institusi  tersebut mempunyai peran dan tugas serta kewenangan tersendiri berdasarkan konstitusi yang teknis operasionalnya dijabarkan dalam peraturan perundangan-undangan.  Dan dalam menjalankan peran, tugas dan kewenangannya, masing-masing institusi harus berorientasi pada tercapainya visi dan terlaksananya misi institusi tersebut, dengan menjadian tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia sebagai tujuan utamanya, yaitu : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (alenia keempat Pembukaan UUD 1945).
Oleh karena masing-masing Institusi mempunyai peran, tugas dan kewenangan yang berbeda, maka dalam hal kepemimpinan secara teknis psikologis menimbulkan perbedaan karakter kepemimpinan yang efektif di wilayah institusinya  masing-masing.
Kualitas dan keberhasilan Pelaksanaan peran, tugas dan kewenangan masing-masing institusi/lembaga negara amat bergantung pada “Mutu Kepemimpinan” dari institusi yang bersangkutan. Gary Yuk dalam bukunya “Kepemimpinan dan Organisasi” menyatakan  “Mutu kepemimpinan yang terdapat pada suatu organisasi memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan keberhasilan organisasi tersebut”. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu mengantisipasi dan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi (Gary Yukl: Kepemimpinan Dalam Organisasi, 1994).
Kata “Kepemimpinan” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Leadership”. Menurut James M Black dalam bukunya Management, A guide to Executive Command sebagaimana dikutip oleh Nisrul Irawati, dalam makalahnya tentang Kepemimpinan Efektif, menyatakan: “Leadership is capatibilty of persuading others to work together undertheir direction as a team to accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan). Menurut Terry (Kartono 1983 : 38) Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok. Hasil tinjauan penulis-penulis lain mengungkapkan bahwa para penulis managemen sepakat kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Menurut Ordway Teod dalam bukunya ”The Art Of Leadership” (Kartono 1983 : 38). Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kepemimpinan dapat terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu. Sedangkan Young (Kartono 1983 : 39) mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus.
Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi bawahan atau kelompok untuk bekerja sama mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam kepemimpinan tentu akan melibatkan unsur pemimpin yakni orang yang akan mempengaruhi tingkah laku pengikutnya (influence) dan pengikut-pengikutnya (influences) dalam situasi  tertentu. Oleh karena itu Stephen Covey seorang “guru” di bidang managemen menyatakan bahwa pemimpin yang berhasil di abad 21 adalah yang mempunyai visi, keberanian serta kerendahan hati untuk terus menerus belajar dan mengasah kecakapan dan emosinya. Seorang pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu unit organisasi yang efektif dan efisien, karena seorang pemimpin selain memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku sebagai panutan dan tauladan bagi bawahannya.
Hasil penelitian para ahli dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa orang yang secara intelektual cerdas seringkali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis, memimpin maupun dalam kehidupan pribadi mereka. Namun ada unsur lain yaitu kecerdasan Emosional atau Emotional Intelligence (EI). Seorang eksekutif atau profesional yang secara teknik unggul dan memiliki EI tinggi adalah orang yang mampu mengatasi konflik, kesenjangan yang perlu dijembatani atau diisi, lebih cekatan dan lebih cepat dibandingkan orang lain (Robert K. Cooper, Ph.D. dan Aman Sawaf, Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, Jakarta 1998, LAN RI, Kepemimpinan Dalam organisasi, 2008 : 4). Untuk itu maka seorang pemimpin selain cerdas secara intelektual (IQ) juga cerdas secara emosional (EQ) dan juga cerdas secara spiritual (SQ).
Pemimpin yang demikian yang diharapkan ada pada organisasi/institusi Negara karena apabila organisasi/Institusi Negara itu dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai keseimbangan antara IQ, EQ dan SQ, maka akan terwujudlah kepemimpinan efektif pada institusi tersebut sehingga visi dan misinya akan dapat terlaksana dengan baik sehingga akan semakin mendekatkan pada terwujudnya tujuan negara sebagaimana disebutkan di atas. Pemimpin yang efektif disamping mempunyai kapabilitas dibidang keilmuan, managerial dan integritas moral, menurut Rio Purboyo, Trainer, pada “Lembaga Manajemen Terapan Trustco” Surabaya, Pemimpin yang efektif juga mempunyai karakter sebagai berikut:
1.   Berani mengambil keputusan-keputusan sulit;
2.   Mempunyai dan menciptakan visi dan misi yang jelas;
3.   Menanamkan loyalitas pada bawahan;
4.   Berfokus pada kekuatan SDM yang dimiliki serta kekuatan organisasi lainnya;
5.   Tidak takut pada bawahan yang kuat;
6.   Bersikap konsisten;
7.   Mempersiapkan pemimpin masa depan.
III.   MENUJU KEPEMPIMPINAN TRANSFORMASIONAL PADA PENGADILAN AGAMA
Mahkamah Agung sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai berikut :
visi  : “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
Misi :  1. Menjaga kemandirian badan peradilan.
2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
3.  Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan.
4.  Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Pengadilan Agama sebagai salah satu Pelaksana Kekuasan Kehakiman di Indonesia mempunyai tugas dan wewenang “memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah" (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 7  Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006).
Visi dan misi Mahkamah Agung tersebut harus menjadi rujukan bukan hanya bagi aparat Mahkamah Agung tetapi juga bagi semua aparat peradilan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Bagi Pengadilan Agama, agar tugas dan kewenangnya tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan (vide Pasal 57 ayat [3] UU No. 7 Th. 1989), maka semua sumber daya dan stock holder yang dimiliki oleh Pengadilan Agama harus didayagunakan secara maksimal sesuai dengan prinsip-prinsip managerial. Sember daya itu antara lain adalah man (orang/SDM), money (financial) dan material (sarana prasarana). Dari ketiga sumber daya tersebut, yang amat menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan visi dan misi serta tugas dan wewenang sebagaimana disinggung di atas adalah Sumber Daya Manusia terutama Pemimpinnya.
Kepemimpinan dalam struktur organisasi dikenal ada 3 (tiga) tingkatan pemimpin, yaitu Top Leader/Top Manager (Pimpinan Tertinggi), Middle Leader/Middle Manager (Pimpinan Menengah) dan Low Leader/low Manager (Pimpinan tingkat terendah). (Hadari Nawawi, Kepemimpinan yang Efektif, 1995 hal. 9, lihat pula Ahmad Kamil, Membangun Kepribadian Hakim yang tangguh dan professional, Varia Peradilan, Edisi Juli 2008).
Secara struktural - berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009, pada pengadilan Agama menurut penulis dapat dijabarkan yang menduduki Pemimpin Tingkat Tinggi adalah Ketua dan Wakil Ketua, sedang yang menduduki Pemimpin Menengah adalah Panitera/Sekretaris dan Wakil Panitera/Wakil Sekretaris, sedang yang menduduki Pemimpin Terendah adalah Kepala Sub Bagian (Kasubag) atau Kepala urusan (Kaur) dan Panitera Muda.
Pada dua dekade terakhir ini, Para pakar Management Modern mengemukakan bahwa ada dua model/gaya kepemimpinan, yaitu kepemimpinan transformasional dan transaksional. Kepemimpinan Tranformasional memotivasi karyawan untuk melakukan pekerjaan atau tugas lebih baik dari apa yang bawahan inginkan dan bahkan lebih tinggi dari apa yang sudah diperkirakan sebelumnya. Kepemimpinan seperti ini sejak awal akan menimbulkan kesadaran dan komitmen yang tinggi dari kelompok terhadap visi dan misi organisasi serta akan membangkitkan komitmen para karyawan untuk melihat dunia kerja melampaui batas-batas kepentingan pribadi demi untuk kepentingan organisasi. (Andira dan Budiarto subroto, Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Terhadap Kinerja Lini Depan Perusahaan Jasa, 2010).
Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan kualitas dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan. Karena itu kepemimpinan transformasional ini dipertentangkan dengan kepempimpinan yang memelihara status qou.
Untuk menuju kepemimpinan tranformasional, terdapat empat faktor yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
  1. Idealized influence: Pemimpin merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bawahannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan organisasi/institusi.
  2. Inspirational motivation: Pemimpin dapat memotivasi seluruh bawahannya untuk memiliki komitmen terhadap visi dan misi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai visi dan misi tersebut.
  3. Intellectual Stimulation: Pemimpin dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi terjadap bawahannya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan organisasi ke arah yang lebih baik.
  4. Individual consideration: Pemimpin dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi bawahannya.
Adapun kepemimpinan Transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara dan melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchanger process) dimana para pengikut (karyawan/ bawahan) mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melaksanakan perintah-perintah pemimpin.
Jika dihubungkan dengan teori hirarki, kebutuhan manusia menurut pendapat Abraham Maslow, yaitu : kebutuhan  fisiologis, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri (diakses dari http://www.organisasi.org/ tanggal 13 Juni 2010), maka kedua model kepemimpinan ini (kepemimpinan transformasional dan transaksional) selalu diterapkan pada setiap organisasi tak terkecuali pada Pengadilan Agama. Terhadap kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman, maka dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional. Sebaliknya terhadap kebutuhan yang lebih tinggi, seperti prestige dan aktualisasi diri, maka dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional. Dengan demikian kepemimpinan transaksional berorientasi pada kebutuhan jangka pendek dan kasat mata, sedang kepemimpinan transformasional berorientasi pada kebutuhan jangka panjang dan kepuasan hati. Orang yang berorientasi pada kebutuhan jangka panjang dan kepuasan hati, maka kebutuhan jangka pendek dan kasat mata niscaya akan dapat dicapainya juga, tetapi orang yang hanya berorientasi pada kebutuhan jangka pendek dan kasat mata, maka kebutuhan jangka panjang dan kepuasan hati akan sulit diperoleh.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik dari pada orang yang menampilkan model kepemimpinan transaksional.
Pengadilan Agama sebagai Pengadilan yang menegakkan hukum materiil Islam, maka seharusnya menjadi sebuah keniscayaan bahwa para karyawannya berorientasi untuk kebutuhan jangka panjang bahkan dapat menembus batas dunia. Semua pelaksanaan tugas secara operasional diusahan untuk mewujudkan visi dan misi serta terlaksananya program kerja Institusi dengan baik dan benar, sedang secara idealis semuanya itu harus diorientasikan untuk memperoleh kebutuhan dan tujuan tertinggi dalam hidup yaitu keridhoan Allah SWT.  
Dengan demikian, maka model kepemimpinan yang efektif untuk diterapkan pada pengadilan Agama adalah kepemimpinan transformasional. Bagi Ketua atau Wakil Ketua yang selama ini menerapkan/menampilkan model kepemimpinan transaksional, sekarang merupakan waktu tepat untuk berhijrah menuju kepemimpinan transformasional, karena visi “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung” hanya bisa dicapai dengan menerapkan model kepemimpinan transformasional. Mereka yang menerapkan model kepemimpinan transaksional akan sulit untuk dapat mewujudkan visi tersebut.
Oleh karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional sebagai berikut:
  1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik bagi organisasi;
  2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi;
  3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama;
  4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi;
  5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan;
  6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi.
Dalam Islam, teladan utama kepemimpinan adalah Rasulullah saw. beliau sebagai Pemimpin yang mampu melakukan perubahan secara revolusioner dengan cara yang beradab pada semua sendi kehidupan di atas landasan Ilahiyah dan Insaniyah. Sifat utama beliau dalam menjalankan kepemimpinannya adalah : Shiddiq : jujur dalam hati, ucapan dan tindakan demi tegaknya kebenaran yang diperjuangkan, Amanah : Dapat dipercaya dalam mengemban tugas dan amanat yang dibebankan kepadanya, Tabligh :  mempunyai kemampuan menyampaikan risalah dengan baik melalui komunikasi dengan benar (qaulan sadida), komunikasi yang lemah lembut (qaulan layyina), dengan perkataan yang berbobot (qaulan tsaqila) dan dengan menyentuh qalbu (qaulan baligha), dan Fathonah : memilik kecerdasan Intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dibawah bimbingan wahyu sehingga dapat mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam keadaan sesulit apapun.
Dalam rangka menuju diterapkannya model kepemimpinan transformasional pada Pengadilan Agama, maka pimpinan Pengadilan Agama secara ideologis harus berusaha menginternalisasi kepemimpinan Rasulullah saw. dalam pribadinya, dan secara teknis operasional menerapkan tips kepemimpinan transformasional sesuai dengan ilmu managemen. Dengan cara demikian, maka Pengadilan Agama akan kukuh pada jati dirinya sebagai penegak hukum Islam sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dan akan dapat  melalukan kreasi dan inovasi menuju visi yang dicanangkan oleh Mahkamah Agung, yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
 
IV. REKRUTMEN PIMPINAN PENGADILAN AGAMA
Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini rekrutmen Pimpinan (ketua dan atau wakil ketua Pengadilan Agama) kadang didasarkan pada terpenuhinya persyaratan formal dan senioritas semata baik dari segi kepangkatan maupun masa kerja sebagai hakim, akibatnya kadang ditemukan terdapat wakil ketua atau ketua yang dari segi kualifikasi keilmuan, keterampilan managerial dan atau integritas moral sebenarnya  - maaf - kurang layak menjadi seorang pimpinan. Mereka menjadi pimpinan lebih dikarenakan faktor kebetulan dan nasib yang baik. Pengadilan yang dipimpin oleh pimpinan yang kurang memiliki kualifikasi keilmuan, managerial dan integritas moral sering kali menerapkan model kepemimpinan transaksional, akibatnya visi dan misi serta program kerja tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga performent Pengadilan dibawah kepemimpinannya, baik dilihat dari segi formalitas penampilan maupun substansial pelaksanaan rutinitas tugas kurang bisa mencerminkan sebagai Pengadilan yang modern. Ini bukan berarti rekrutmen pimpinan Pengadilan Agama selama ini salah tetapi masih ada celah yang perlu pembaruan.
Adapun pembaruan yang perlu dilakukan dalam rekrutmen ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama antara lain sebagai berikut :
  1. Hakim yang hendak dipromosikan sebagai wakil ketua atau ketua telah memenuhi syarat formal, terutama dari segi kepangkatan dan golongan.
  2. Ujian tertulis yang meliputi materi substansial dan managerial;
  3. Fit and proper test.
Syarat formal yang harus dipenuhi oleh Hakim yang hendak dipromosikan sebagai Pimpinan (wakil ketua atau ketua) sebaiknya diutamakan kepada mereka yang telah memenuhi syarat minimal kepangkatan dan golongannya, misalnya III/d atau IV/a meskipun masa kerja sebagai hakim masih relative belum lama, karena fakta yang ada sebagian Hakim Pengadilan Agama berangkat menjadi Hakim setelah menduduki jabatan di Kepaniteraan atau sekretariat, mereka ini ada yang pernah menduduki jabatan panitera muda, wakil panitera, wakil sekretaris,  bahkan panitera PA/PTA sehingga sebelum menjadi hakim sudah terlatih belajar menjadi pimpinan, meskipun pada tingkat bawah.
Bagi semua hakim yang memenuhi syarat formal terutama dari segi kepangkatan dan golongan diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti Tes tertulis yang materinya meliputi materi substansial dan Ilmu managemen terutama managemen perkantoran dan pengembangan SDM. Disamping itu juga dilakukan eksaminasi terhadap perkara yang pernah ditanganinya.
Hakim yang dinyatakan telah lulus Ujian Tulis Calon Pimpinan diberi kesempatan untuk mengikuti tahapan selanjutnya, yaitu fit and proper test.
Dengan cara dan tahapan demikian (Ujian Tertulis dan fit and proper test), maka insya Allah kepemimpinan di Pengadilan Agama akan dapat berjalan lebih efektif, model kepemimpinannya akan banyak menerapkan model/gaya kepemimpinan transformasional.  Sehingga akan membawa kemajuan yang signifikan bagi Pengadilan Agama, meningkatkan kesejahteraan bagi para karyawan dan dapat memberi pelayanan prima kepada para pencari keadilan, yang selanjutnya bermuara pada terwujudnya visi sebagai Pengadilan yang Agung.
Sekecil apapun penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi Pengadilan di Indonesia khususnya bagi Pengadilan Agama. Penulis mohon koreksi dan minta maaf atas segala kekurangan. Wallahu A’lamu bis shawab.
                             





DAFTAR PUSTAKA
 
Perundang-undangan :
Undang-undang Dasar RI Tahun 1945
Undang-undang No. 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009.
Rujukan Buku :
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, London, Prentice-Hall Inc, 1994.
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Rajawali, 1983.
Lembaga Administrasi Negara, Kepemimpinan Dalam Organisasi, Modul Diklatpim III, 2008.  
Nisrul Irawati, Kepemimpinan Efektif, Fak Ekonomi, USU, tt.
Majalah :
Ahmad Kamil, Membangun Kepribadian Hakim yang tangguh dan professional, dalam Varia Peradilan, No. 272, Juli 2008.
Laporan tahunan Mahkamah Agung RI. Tahun 2009, dalam Varia Peradilan No. 293, April 2010,
Tim Redaksi, Kepemimpinan Pengadilan, dalam Varia Peradilan, No. 267, Februari 2008.
Akses Internet :
Abraham Maslow, hirarki kebutuhan manusia, diakses dari http://www.organisasi.org/ tanggal 13 Juni 2010.
Andira dan Budiarto subroto, Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Terhadap Kinerja Lini Depan Perusahaan Jasa, diakses dari Internet, 13 Juni 2010.
Rio Purboyo, 7 Faktor Kritis Kepemimpinan Efektif, diakses dari http://www. trustcosurabaya.com/ diakses tanggal 13 Juni 2010.